Judul ini memberi petunjuk
tentang adanya sesuatu yang inheren, mungkin permasalahannya ialah
adanya kontinuitas dan perubahan, harmoni atau disharmoni. Tidak
mustahil ketiga masalah ini akan melihat masa lampau atau masa depan
yang penuh dengan ketidakpastian dan dapat melibatkan perdebatan
semantika.
Keperluan
sekarang adalah pengetahuan ilmiah yang harus ditingkatkan karena
pengetahuan, perbuatan, ilmu dan etika makin saling bertautan. Semuanya
itu memperlihatkan suatu perpaduan dari pertimbangan moral ilmiah. Dalam
hal ini dipertanyakan bagaimna mengkaji kemampuan manusia mengembangkan
ilmu pengetahuan guna memanfaatkan sumber daya alam, dan bagaimana
memanfaatkan sumber daya untuk membasmi kemiskinan.
Teknologi
dalam penerapannya sebagai jalur utama yang dapat menyongsong masa
depan cerah, kepercayaannya sudah mendalam. Ini merupakan sikap yang
wajar asalkan tetap dalam konteks penglihatan yang rasional. Sebab
teknologi selain mempermudah kehidupan manusia, mempunyai dampak sosial
yang sering lebih penting artinya daripada kehebatan teknologi itu
sendiri.
Menurut Schumacher, dalam Kecil itu Indah, dunia modern yang dibentuk oleh teknologi menghadapai tiga krisis sekaligus yaitu:
1. Sifat kemanusiaan berontah terhadap pola-pola politik, organisasi dan teknologi
yang tidak berperikemanusiaan, yang terasa menyesakkan nafas dan melemahkan badan.
2. Lingkungan hidup menderita dan menunjukkan tanda-tanda setengah binasa.
3.
Penggunaan sumber daya yang tidak dapat dipulihkan sehingga akan
terjadi kekurangan sumber daya alam tersebut seperti bahan bakar fosil.
Oleh
sebab itu dipertanyakan bagaimana peranan teknologi dalam usaha
mengatasi kemiskinan dan membatasi alternatif pemecahan masalah serta
mempengaruhi hasilnya.
Ilmu
pengetahuan, teknologi dan kemiskinan merupakan bagian-bagian yang
tidak dapat dibebaskan dan dipisahkan dari suatu sistem yang
berinteraksi, interelasi, interdepedensi dan ramifikasi (percabangannya)
dan membuatnya operasional dalam rangka social engineering-nya.
I. Ilmu Pengetahuan
Ada
keseragaman pendapat di kalangan ilmuwan bahwa ilmu itu selalu tersusun
dari pengetahuan secara teratur, yang diperoleh dengan pangkal tumpuan
tertentu dengan sistematis, metodis, rasional/logis, empiris, umum, dan
akumulatif.
Menurut Aristoteles: pengetahuan merupakan pengetahuan yang dapat diinderai dan dapat merangsang budi; menurut Decartes: ilmu pengetahuan merupakan serba budi; Bacon dan David Home: ilmu pengetahuan merupakan pengalaman indera dan batin; Immanuel Kent: Pengetahuan merupakan persatuan antara budi dan pengalaman; dan menurut teori Phyroo: mengatakan tidak ada kepastian dalam pengetahuan.
Dari berbagai macam pandangan diatas diperoleh teori-teori kebenaran pengetahuan:
1.
Teori yang bertitik tolah adanya hubungan dalil à teori ini menjelaskan
dimana pengetahuan dianggap benar apabila dalil (proposisi) itu
mempunyai hubungan dengan dalil yang terdahulu.
2. Pengetahuan benar apabila ada kesesuaian dengan kenyataan.
3. Pengetahuan benar apabila mempunyai konsekuensi praktis dalam diri yang mempunyai pengetahuan itu.
Banyaknya
teori dan pendapat tentang pengetahuan dan kebenaran mengakibatkan
suatu definisi ilmu pengetahuan mengalami kesulitan, walaupun dikalangan
ilmuwan sudah ada keseragaman pendapat, namun masih terperangkap dalam
tautologis (pengulangan tanpa membuat kejelasan) dan Pleonasme/mubazir
saja. Pembentukan ilmu akan berhadapan dengan objek yang merupakan bahan
dalam penelitian, meliputi
a. Objek Material
Sebagai bahan yang menjadi tujuan penelitian bulat dan utuh
b. Objek Formal
Sudut pandangan yang mengarah kepada persoalan yang menjadi pusat perhatian
Langkah-langkah
dalam memperoleh ilmu dan objek ilmu meliputi rangkaian kegiatan dan
tindakan yang dimulai dengan pengamatan, yaitu suatu kegiatan yang
diarahkan kepada fakta yang mendukung apa yang dipikirkan untuk
sistemasi, kemudian menggolong-golongkan dan membuktikan dengan cara
berfikir analitis, sintesis, induktif, dan deduktif yang berujuk pada
pengujian kesimpulan dengan menghadapkan fakta-fakta sebagai upaya
mencarai berbagai hal yang merupakan pengingkaran.
Untuk mencapai suatu pengetahuan yang ilmiah dan objektif diperlukan sikap yang bersifat ilmiah yaitu:
1. Tidak ada perasaan yang bersifat pamrih sehingga mencapai pengetahuan ilmiah yang objektif.
2.
Selektif, artinya mengadakan pemilihan terhadap problema yang dihadapi
supaya didukung oleh fakta atau gejala, dan mengadakan pemilihan
terhadap hipotesis yang ada.
3.
Kepercayaan yang layak terhadap kenyataan yang tak dapat diubah maupun
terhadap alat indera dan budi yang digunakan untuk mencapai ilmu.
4.
Merasa pasti bahwa setiap pendapat, teori maupun aksioma terdahulu
telah mencapai kepastian, namun masih terbuka untuk dibuktikan kembali.
Permasalahan
ilmu pengetahuan meliputi arti sumber, kebenaran pengetahuan, serta
sikap ilmuwan itu sendiri sebagai dasar untuk langkah selanjutnya. Ilmu
pengetahuan itu sendiri mencakup ilmu pengetahuan alam dan ilmu
pengetahuan sosial dan kemanusiaan, dan sebagai apa yang disebut generic
meliput segala usaha penelitian dasar dan terapan serta
pengembangannya. Penelitian dasar bertujuan utama menambah pengetahuan
ilmiah, sedangkan penelitian terapan adalah untuk menerapkan secara
praktis pengetahuan ilmiah. Pengembangan diartikan sebagai penggunaan
sistematis dari pengetahuan yang diperoleh penelitian untuk keperluan
produksi bahan2, cipta rencana sistem metode atau proses yang
berguna, tetapi yang tidak mencakup produksi atau engineeringnya
(Bachtiar Rifai, 1975)
Dalam
menerapkan dan mengembangkan ilmu pengetahuan tersebut, perlu
diperhatikan hambatan sosialnya. Bagaimna konteksnya dengan teknologi
dan kemungkinan untuk mewujudkan suatu perpaduan dan pertimbangan moral
dan ilmiah. Contoh sederhana tapi mendalam terjadi pada masyarakat
mitis. Dalam masyarakat tersebut ada kesatuan dari pengetahuan dan
perbuatan, demikian pula hubungan sosial di dalam suku dan kewajiban
setiap individu jelas. Argumen ontologis, kalau menurut teori Plato,
artinya berteori tentang wujud atau hakikat yang ada. Keadaannya
sekarang sudah berkembang sehingga manusia sudah mampu membedakan antara
ilmu pengetahuan dengan etika dalam suatu sikap yang dapat
dipertanggungjawabkan.
II. Teknologi
Dalam
konsep pragmatis dengan kemungkina berlaku secara akademis dapatlah
dikatakan bahwa ilmu pengetahuan (body of knowledge) dan teknologi
sebagai suatu seni (state of art) yang mengandung pengertian berhubungan
dengan proses produksi; menyangkut cara bagaimana berbagai sumber,
tanah, modal, tenaga kerja dan ketrampilan dikombinasikan untuk
merealisasi tujuan produksi. “secara konvensional mencakup penguasaan
dunia fisik dan biologis, tetapi secara luas juga meliputi teknologi
sosial, terutama teknologi sosial pembangunan (the social technology of
development) sehingga teknologi itu adalah metodi sistematis untuk
mencapai setiap tujuan insani.” (Eugene Staley, 1970).
Teknologi
memperlihatkan fenomenanya dalam masyarakat sebagai hal impersonal dan
memiliki otonomi mengeubah setiap bidang kehidupan manusia menjadi
lingkup teknis. Jacques Ellul dalam tulisannya berjudu “The
Technological Society” (1964) tidak mengatakan teknologi tetapi teknik.
Meskipun untuk mesin, teknologi atau prosedur untuk memperoleh hasilnya,
melainkan totalitas metode yang dicapai secara rasional dan mempunyai
efisiensi (untuk memberikan tingkat perkembangan) dalam setiap bidang
aktivitas manusia. Batasan ini bukan bentuk teoritis, melainkan
perolehan dari aktivitas masing2 dan observasi fakta dari apa yang
disebut manusia modern dengan perlengkapan tekniknya. Jadi teknik
menurut Ellul adalah berbagai usaha, metode dan cara untuk memperoleh
hasil yang sudah distandarisasi dan diperhitungkan sebelumnya.
Fenomena teknik pada masyarakat kini, menurut Sastrapratedja (1980) memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Rasionalitas, artinya tindakan spontak oleh teknik diubah menjadi tindakan yang direncanakan dengan perhitungan rasional.
2. Artifisialitas, artinya selalu membuat sesuatu yang buatan tidak alamiah.
3.
Otomatisme, artinya dalam hal metode, organisasi dan rumusan
dilaksanakan serba otomatis. Demikian pula dengan teknik mampu
mengelimkinasikan kegiatan non-teknis menjadi kegiatan teknis.
4. Teknis berkembang pada suatu kebudayaan.
5. Monisme, artinya semua teknik bersatu, saling berinteraksi dan saling bergantung.
6. Universalisme, artinya teknik melampaui batas-batas kebudayaan dan ediologi, bahkan dapat menguasai kebuadayaan.
7. Otonomi, artinya teknik berkembang menurut prinsip sendiri.
Teknologi
tepat guna sering tidak berdaya menghadapi teknologi Barat, yang sering
masuk dengan ditunggangi oleh segelintir orang atau kelompok yang
bermodal besar. Ciri-ciri teknologi Barat tersebut adalah:
1.
Serba intensif dalam segala hal, seperti modal, organisasi, tenaga
kerja dll. Sehingga lebih akrab dengan kaum elit daripada dengan buruh
itu sendiri.
2. Dalam struktur sosial, teknologi barat bersifat melestarikan sifat kebergantungan.
3.
Kosmologi atau pandangan teknologi Barat adlaah menganggap dirinya
sebagai pusat yang lain feriferi, waktu berkaitan dengan kemanjuan
secara linier, memahami realitas secara terpisah dan berpandangan
manusia sebagai tuan atau mengambil jarak dengan alam.
III. Ilmu Pengetahuan Teknologi dan Nilai
Ilmu
pengetahuan dan teknologi sering dikaitkan dengan nilai atau moral. Hal
ini besar perhatiannya tatkala dirasakan dampaknya melalui
kebijaksanaan pembangunan, yang pada hakikatnya adalah penerapan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Ilmu
dapatlah dipandang sebagai produk, sebagai proses, dan sebagai
paradigma etika (Jujun S. Suriasumantri, 1984). Ilmu dipandang sebagai
proses karena ilmu merupakan hasil dari kegiatan sosial, yang berusaha
memahami alam, manusia dan perilakunya baik secara individu atau
kelompok. Apa yang dihasilkan ilmu pengetahuan seperti sekarang ini,
merupakan hasil penalaran (rasio) secara objektif. Ilmu sebagai produk
artinya ilmu diperoleh dari hasil metode keilmuwan yang diakui secara
umum dan universal sifatnya. Oleh karena itu ilmu dapat diuji
kebenarannya, sehingga tidak mustahil suatu teori yang sudah mapan suatu
saat dapat ditumbangkan oleh teori lain. Ilmu sebagai ilmu, karena ilmu
selain universal, komunal, juga alat meyakinkan sekaligus dapat
skeptis, tidak begitu saja mudah menerima kebenaran.
Istilah
ilmu diatas, berbeda dengan istilah pengetahuan. Ilmu adalah diperoleh
melalui kegiatan metode ilmiah (epistemologi) yang merupakan pembahasan
bagaimana mendapatkan pengetahuan. Epistemologi ilmu terjamin dalam
kegiatan metode ilmiah (èkegiatan meyusun tubuh pengetahuan yang
bersifat logis, penjabaran hipotesis dengan deduksi dan verifikasi atau
menguji kebenarannya secara faktual; sehingga kegiatannya disingkat
menjadi logis-hipotesis-verifikasi atau deduksi-hipotesis-verifikasi).
Sedangkan pengetahuan
adalah pikiran atau pemahaman diluar atau tanpa kegiatan metode ilmiah,
sifatnya dapat dogmatis, banyak spekulasi dan tidak berpijak pada
kenyataan empiris. Sumber pengetahuan dapat berupa hasil pengalaman
berdasarkan akal sehat (common sense) yang disertasi mencoba-coba,
intuisi (pengetahuan yang diperoleh tanpa pembalaran) dan wahyu
(merupakan pengetahuan yang diberikan Tuhan kepada para Nabi atau
UtusanNya).
Ilmu
pengetahuan pada dasarnya memiliki 3 (tiga) komponen penyangga tubuh
pengetahuan yang disusunnya dimana ketiganya erat kaitannya dengan nilai
moral yaitu:
1. Ontologis (Objek Formal Pengetahuan)
Ontologis
dapat diartikan hakikat apa yang dikaji oleh pengetahuan, sehingga
jelas ruang lingkup wujud yang menjadi objek penelaahannya
2. Epistemologis
Epistemologis
seperti diuraikan diatas hanyalah merupakan cara bagaimana materi
pengetahuan diperoleh dan disusun menjadi tubuh pengetahuan.
3. Aksiologis
Aksiologis adalah asas menggunakan ilmu pengetahuan atau fungsi dari ilmu pengetahuan.
Kaitan
ilmu dan teknologi dengan nilai moral, berasal dari ekses penerapan
ilmu dan teknologi sendiri. Dalam hal ini sikap ilmuwan dibagi menjadi
dua golongan:
1.
Golongan yang menyatakan ilmu dan teknologi adalah bersifat netral
terhadap nilai-nilai baik secara ontologis maupun aksiologis, soal
penggunaannya terserah kepada si ilmuwan itu sendiri, apakah digunakan
untuk tujuan baik atau buruk. Golongan ini berasumsi bahwa kebenaran itu
dijunjung tinggi sebagai nilai, sehingga nilai-nilai kemanusiaan
lainnya dikorbankan demi teknologi.
2.
Golongan yang menyatakan bahwa ilmu dan teknologi itu bersifat netral
hanya dalam batas-batas metafisik keilmuwan, sedangkan dalam penggunaan
dan penelitiannya harus berlandaskan pada asas-asa moral atau
nilai-nilai. Golongan ini berasumsi bahwa ilmuwan telah mengetahui
ekses-ekses yang terjadi apabila ilmu dan teknologi disalahgunakan.
Nampaknya
ilmuwan golongan kedua yang patut kita masyarakatkan sikapnya sehingga
ilmuwan terbebas dari kecenderungan “pelacuran” dibidang ilmu dan
teknologi dengan mengorbankan nilai-nilai kemanusiaan.
IV. Kemiskinan
Kemiskina
lazimnya dilukiskan sebagai kurangnya pendapatan untuk memenuhi
kebutuhan hidup yang pokok. Dikatakan berada dibawah garis kemiskinan
apabila pendapatan tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup yang
paling pokok seperti pangan, pakaian, tempat berteduh (Emil Salim,
1982).
Menurut
Prof. Sayogya (1969), garis kemiskinan dinyatakan dalam rp/tahun,
ekuivalen dengan nilai tukar beras (kg/orang/tahun yaitu untuk desa 320
kg/orang/tahun dan 480 kg/orang/tahun). Atas dasar ukuran
ini maka mereka yang hidup di bawah garis kemiskinan memiliki ciri-ciri
sebagai berikut:
a. Tidak memiliki faktor produksi sendiri seperti tanah, modal, ketrampilan, dsb;
b.
Tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh asset produksi dengan
kekuatan sendiri, seperti untuk memperoleh tanah garapan atau modal
usah;
c. Tingkat
pendidikan mereka rendah, tidak sampai tamat sekolah dasar karena harus
membantu orang tua mencari tambahan penghasilan;
d. Kebanyakan tinggal di desa sebagai pekerja bebas (self employed), berusaha apa saja;
e. Banyak yang hidup di kota berusia muda, dan tidak mempunyai ketrampilan.
Menurut teori Fungsionalis dari Statifikasi (tokohnya Davis), kemiskinan memiliki sejumlah fungsi yaitu:
1. Fungsi Ekonomi
Penyediaan
tenaga untuk pekerjaan tertentu menimbulkan dana sosial, membuka
lapangan kerja baru dan memanfaatkan barang bekas (masyarakat pemulung).
2. Fungsi Sosial
Meninmbulkan
altruisme (kebaikan spontan) dan perasaan, sumber imajinasi kesulitan
hidup bagi si kaya, sebagai ukuran kemajuan bagi kelas lain dan
merangsang munculnya badan amal.
3. Fungsi Kultural
Sumber
inspirasi kebijaksanaan teknokrat dan sumber inspirasi sastrawan dan
memperkaya budaya saling mengayomi antar sesama manusia.
4. Fungsi Politik
Berfungsi sebagai kelompok gelisan atau masyarakat marginal untuk musuh bersaing bagi kelompok lain.
Walaupun
kemiskinan mempunyai fungsi, bukan berarti menyetujui lembaga tersebut.
Tetapi karena kemiskinan berfungsi maka harus dicarikan fungsi lain
sebagai pengganti.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar